Memperingati Kartini setiap tanggal 21 April selalu menjadi momentum yang sangat penting bagi perempuan di Indonesia. Begitu banyak kenangan, pesan, dan nilai-nilai yang bisa diangkat dari peringatan tersebut. Bahkan secara ekstrem lembaga atau organisasi mengekpresikan kenangannya terhadap sosok Kartini melalui kostum yang diwajibpakaikan oleh kaum perempuan. Hal itu sepertinya sah-sah saja. Namun, seyogjanya  kita tidak sekedar memperingatinya sebagai tokoh sejarah, tetapi kita perlu mencermati ide-ide yang diperjuangkannya dan merenungkannya apakah ide tersebut sudah tertuang dalam hidup nyata khususnya pada perempuan.

Sebagai perempuan, tentu kita akan terinspirasi dengan kehidupan  Kartini. Sosok perempuan yang memiliki pemikiran “radikal” terhadap kelemahan dan keterbatasan wanita akibat tradisi yang ada. Perempuan yang hidup dalam zaman Kartini adalah perempuan yang sangat dipengaruhi adat istiadat yang tidak membolehkan perempuan bersekolah, tidak boleh bekerja di luar rumah atau menduduki jabatan di dalam masyarakat, dan harus tunduk pada adat istiadat serta  tidak boleh memiliki kemauan untuk maju. Dalam kondisi tersebut Kartini berpikir bahwa wanita sebenarnya bisa melakukan banyak hal jika di beri pengajaran dan pendidikan. Hal tersebut terungkap dalam suratnya yang  tertulis dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” karya Armijn (1990: 157)  “  “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.( Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)

Apa yang menjadi angan-angan dan harapan Kartini untuk wanita Indonesia sepertinya sudah tercapai untuk saat ini. Wanita tidak lagi sebagai “konco wingking” tetapi, mulai bisa menunjukan kemampuan di segala lini kehidupan, baik  di bidang ekonomi, politik, dan profesi. Sehingga apa yang dicita-citakan Kartini tentang  emansipasi sudah banyak terwujud pada zaman sekarang. Hal itu seperti yang tertuang  dalam suratnya juga dalam buku “ Habis Gelap Terbitlah Terang” yang ditulis oleh Armijn, (1990:38) “Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata ‘Emansipasi’ belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup didalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.” (Suratnya kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899).

Pertanyaannya sekarang adalah apakah emansipasi yang digagas RA Kartini telah di “ejawantahkan” oleh perempuan zaman sekarang?  Di zaman modern ini, dengan banyaknya kesempatan, kemudahan, dan didukung canggihnya teknologi, masih linearkah perempuan masa sekarang dengan konsep perempuan seperti yang diinginkan Kartini? Tentu, jawabannya adalah kita bisa melihat fakta, bahwa perempuan zaman sekarang sudah banyak yang mampu menjawab kegelisahan Kartini terhadap perempuan pada zamannya.

Kondisi pandemi yang belum berakhir menjadi salah satu alasan untuk perempuan harus mampu melakukan banyak hal . Saat suami tidak bekerja karena korban PHK atau alasan lain, ketika anak harus belajar di rumah atau PJJ, dan tingkat kebutuhan ekonomi serta tuntutan sosial dan teknologi yang semakin meningkat, tanpa sadar  memaksa seorang perempuan harus banyak mengambil alih tugas dan tanggung jawab dalam keluarga serta kehidupan bermasyarakat. Pada kondisi inilah kemandirian perempuan menjadi relevan denga cita-cita kartini.

Realita lain lain adalah bagaimana kiprah perempuan sekarang ini justru lebih cepat adaptasinya dengan dunia teknologi. Semakin banyak yang eksis di dunia medsos. Bahkan perempuan lebih pro aktif menggunakan perangkat digital untuk berbagai kepentingan. Mulai bersosialisasi (sosialita) hingga menggunakannya untuk mendapat penghasilan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa perempuan lebih tertarik dengan apa yang bisa dilakukan dengan internet dibanding laki-laki (Budi Hermana, 2008). Kedekatan perempuan dengan perangkat digital ternyata mampu memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada perempuan untuk menunjukan eksistensi dirinya.

Keberadaan medsos telah menjadi sarana penting yang bisa mempermudah bagi perempuan menjalankan tugas-tugas barunya. Hal tersebut semakin  mampu mengantar perempuan menafsirkan emansipasi dalam kerangka pikir Kartini ke dalam kehidupan modern ini seperti yang diungkapkan juga dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” dari Armijn (1990: 166) “Kami beriktiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup diri sendiri. Menolong diri sendiri. Menolong diri sendiri itu kerap kali lebih sukar dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula.” (Suratnya kepada Nyonya Abendanon, 12 Desember 1902))

Namun demikian, segala alasan yang bisa digunakan perempuan untuk mengejawentakan kebebasan perempuan dalam kerangka “emansipasi” Jangan sampai  menjadi” kebablasan”. Emansipasi tidak sekedar berpusat pada kesetaraan antara hak laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang, tetapi emansipasi di sini adalah bagaimana perempuan mampu maju dan berkembang sesuai tuntutan zaman tanpa kehilangan jati dirinya.

Ketika perannya sebagai istri tergantikan dengan aktivitast tiktok . Saat tugasnya sebagai ibu dialihkan dengan chat whashap, berselancar melalui ig atau facebook, dan media digital lainnya. Berbagai kegiatan medsos yang melebihi kapasitas sebagai istri dan ibu dilakukan dengan alasan mengembangkan diri dan agar tidak ketinggalan zaman, sementara itu, tugas dan kewajiban terabaikan. Hati-hati! Itu berarti kita belum mampu menerjemahkan ide Kartini tentang emansipasi dalam hidup perempuan kita, seperti keyakinannya dalam Armijn (1990: 157) “ kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Pada akhirnya, di tengah tantangan global,  perempuan harus mampu mempersiapkan diri untuk menjalankan peran gandanya. Perempuan harus mampu membangun keluarga, masyarakat, dan menghadirkan generasi bangsa serta mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang di tengah-tengah lajunya teknologi. Semoga gagasan emansipasi Kartini mampu kita hadirkan dalam hidup secara tepat dan bijak. Tetap menjadi perempuan yang cerdas dan tangguh. Karena perempuan cerdas akan melahirkan generasi yang hebat dan dari perempuan yang berhikmat akan lahir generasi mandiri dan bertanggung jawab. Selamat memperingati hari Kartini.

 

Emansipasi tidak sekedar berpusat pada kesetaraan antara hak laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang, tetapi emansipasi di sini adalah bagaimana perempuan mampu maju dan berkembang sesuai tuntutan zaman tanpa kehilangan jati dirinya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *